1.
Kebiasaan masyarakat
yang berlaku di lingkungan tempat tinggal saya adalah, membuang sampah di
tanah milik orang lain. Kebetulan tanah tersebut berada di samping rumah saya.
Hal itu sudah berlangsung hampir 20 tahun lebih.
Menurut
saya kebiasaan tersebut merugikan keluarga saya yang jelas-jelas lingkungannya
telah tercemari oleh limbah rumah tangga. Sehingga saat musim penghujan
menyebabkan terjadinya banjir di tanah tersebut. Lalu genangan air yang
tertampung di kaleng-kaleng bekas tersebut menyebabkan nyamuk-nyamuk semakin
banyak berkembang biak dan tidak bisa di pungkiri lagi kalau ada saja
nyamuk-nyamuk yang menyebabkan penyakit yaitu, Demam Berdarah. Dan pada saat
mereka membakar sampah-sampah tersebut, menyebabkan polusi udara yang juga
merugikan keluarga saya. Karna, asap yang dihasilkan dari pembakaran tak
sempurna jika terhirup terlalu banyak dapat menimbulkan kesulitan bernafas.
Bahkan bau tak sedap dari penumpukan sampah tersebut sering kali kami hirup.
Nilai-nilai yang telah dilanggar dalam kehidupan masyarakat dilingkungan tempat tinggal saya adalah;
a.
Norma Hukum, karena
melanggar PERDA 3 / 2003;
b.
Norma Agama, karena
Islam mengajarkan bahwasannya kebersihan merupakan sebagian dari iman;
c.
Norma Adat, karena
kebiasaan buruk yang dilakukan secara berulang-ulang akan mendarah daging
sehingga menjadi kebiasaan, dan kebiasaan yang dilakukan berulang kali akan
menjadi adat, yang pada akhirnya bahwa tradisi buruk soal membuang sampah
sembarangan merupakan hal biasa dan tidak dianggap melakukan pelanggaran
kaidah/norma adat di lingkungan tersebut.
2.
Faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya perubahan kebudayaan adalah sebagai berikut:
a.
Sebab-sebab yang
berasal dari dalam masyarakat dan kebudayaan sendiri. Contoh nya adalah
perubahan jumlah dan komposisi penduduk.
b.
Sebab-sebab perubahan
lingkungan alam dan fisik tempat mereka hidup.
Ada juga faktor-faktor intern dan ekstern misalnya:
1)
Faktor intern
a.
Perubahan Demografi
Perubahan demografis disuatu daerah biasanya cenderung
terus bertambah, akan mengakibatkan terjadinya perubahan diberbagai sektor
kehidupan, contohnya :
bidang perekonomian, pertambahan penduduk, akan mempengaruhi persediaan
kebutuhan pangan, sandang, dan papan.
b.
Konflik Sosial
Konflik sosial dapat mempengaruhi terjadinya perubahan
kebudayaan dalam suatu masyatakat. Contohnya : konflik kepentingan antara kaum
pendatang dengan penduduk setempat didaerah transmigrasi, untuk mengatasinya
pemerintah mengikutsertakan penduduk setempat dalam program pembangunan
bersama-sama para transmigran.
c.
Bencana Alam
Bencana alam yang menimpa masyarakat dapat mempengaruhi
perubahan, contohnya : bencana banjir, longsor, dan letusan gunung berapi.
Masyarakat akan dievakuasi kemudian dipindahkan ketempat yang baru, disanalah
mereka harus beradaptasi dengan kondisi lingkungan dan budaya setempat yang
berbeda dengannya sehingga terjadilah proses asimilisasi maupun akulturasi.
d.
Perubahan Lingkungan
Alam
Perubahan lingkungan ada beberapa faktor misalnya
pendangkalan muara sungai yang membentuk delta, rusaknya hutan karena erosi
atau perubahan iklim sehingga membentuk tegalan. Perubahan demikian dapat
mengubah kebudayaan, hal ini disebabkan karena kebudayaan mempunyai daya
adaptasi dengan lingkungan setempat.
2)
Faktor Ekstern
a.
Perdagangan
Indonesia terletak pada jalur perdagangan Asia Timur dengan
india, Timur Tengah bahkan Eropa Barat. Itulah sebabnya Indonesia menjadi
tempat persinggahan pedagang-pedagang besar. Selain berdagang mereka juga
memperkenalkan budaya mereka pada masyarakat setempat, sehingga terjadilah
perubahan budaya yang lama menjadi budaya baru dimana adanya percampuran budaya
pribumi dengan budaya pendatang.
b.
Penyebaran Agama
Masuknya unsur-unsur agama Hindu dari India atau budaya
Arab bersamaan proses penyebaran agama Hindu dan Islam ke Indonesia demikian
pula masuknya unsur unsur budaya barat melalui proses penyebaran agama Kristen
dan Kalonialisme.
c.
Peperangan
Kedatangan bangsa Barat ke Indonesia umumnya menimbulkan
perlawanan keras dalam bentuk peperangan, dalam suasana tersebut ikut masuk
pula unsur-unsur budaya bangsa asing ke Indonesia.
Sumber: http://www.cheetz89.wordpress.com , http://www.fajarbloggers.blogspot.com/ dan http://thisisnotbyan.blogspot.com/
3.
Contoh prosa:
1.
MANIHING
TERSENYUM
Ketika sang senja mulai beranjak ke peraduannya, semilir sang bayu mulai membelai tubuhku. Dingin yang kurasakan, namun mataku tidak tetap memandang indahnya sang surya yang hampir tenggelam di pantai berpasir putih. Setelah menghilang, aku mulai beranjak dan pergi meninggalkan pantai. Kurasakan butiran pasir yang lembut di telapak kakiku yang tanpa alas. Kutinggalkan jejak langkah kaki di pasir nan lembut hingga hilang tersapu ombak dan pasirpun rata kembali. Di rumah, kurebahkan badan di ranjang bambu beralaskan tikar yang sudah cukup tua, bahkan sudah mulai lapuk karena umur ranjang tersebut juga sudah sangat tua, melebihi umurku. Kututup mata, tertidur, terlelap, kudengar bunyi ayam berkokok yang membangunkanku dari mimpi yang indah.
Pagi-pagi buta aku bangun, pekerjaanku setiap pagi adalah pergi ke pasar membantu ibuku menjual sayuran di pasar. Sayuran yang kami jual adalah hasil dari kebun kami sendiri. Ayah yang menanam di ladang, apabila dagangan ibu di pasar sudah laku,terlebih maka ia pun segera bergegas menyusul ayah ke ladang. Sedangkan aku melakukan pekerjaan rumah tangga terlebih dahulu. Menyapu, mencuci, dan memasak. Apabila masakan sudah matang, aku langsung mengantarnya ke ladang karena ayah dan ibu tidak pernah makan siang di rumah. Sesekali aku membantu pekerjaan di ladang apabila sedang panen atau ada pekerjaan yang harus cepat diselesaikan. Begitulah kegiatanku sehari-hari. Aku hanyalah seorang gadis yang tinggal di sebuah desa yang ada di Lampung. Kegiatanku sehari-hari hanya menenun di rumah karena itu memang sudah pekerjaan turun-temurun yang sudah diwariskan oleh nenek moyang. Pendidikanku hanya sampai SMA karena selain perguruan tinggi yang cukup jauh, orang tua pun tak sanggup untuk membiayaiku ke perguruan tinggi. Apabila akan melanjutkan studi harus pergi ke kota atau ke luar pulau. Teman-teman sebayaku juga bernasib sama. Oleh karena itu, sampai sekarang aku masih tinggal di desa.
“Manihing...Manihing....Manihing.....” Kudengar suara ibu dari belakang rumah.
“Ada apa Mak, kenapa teriak-teriak?”
“Abakmu Manihing, Abakmu.”
“ Abak kenapa Mak?”
“Abakmu terluka, ambilkan obat merah!”
“Ini Mak.”
Ibu langsung berlari ke ladang, aku segera menyusulnya. Ternyata kaki ayah terkena cangkul, sehingga terluka dan berdarah. Aku membantu membersihkan luka ayah dan kuberi obat merah lalu kubalut dengan kain bersih yang kubawa. Ibu membantu ayah berjalan pulang, sedangkan aku membawa peralatan makan dan alat-alat yang digunakan di ladang. Ayah beristirahat di kamar sampai tertidur pulas. Sementara ibu masih melanjutkan menenun bersamaku. Mataku mulai terkantuk-kantuk, kulirik jam dinding dan jarum pendek sudah menunjuk angka sebelas. Kulihat ibu, dia masih terlihat belum ngantuk. Kuhampiri dan kubawakan secangkir teh panas, kental, manis. Teh kesukaan ibu, berbeda ayah, kalu ayah minum teh pahit tanpa gula.
“Kalau kau ngantuk, tidur saja Manihing! Sudah larut malam, nanti Amak menyusul.”
“Baiklah, Bu.”
Kulangkahkan kaki menuju kamar, berbaring dan terlelap, sampai suara ayam berkokok membangunkanku. Seperti biasa, aku bangun, mandi dan pergi ke pasar. Sepulang dari pasar ibu pergi ke ladang aku memasak dan mengerjakan pekerjaan rumah. Ayah masih sakit sehingga beliau tidak pergi ke ladang. Hari ini aku diajak teman-teman di desaku untuk berwisata ke Pantai Marina. Tapi aku tak berani bilang ke ayah, apalagi beliau masih sakit pasti membutuhkuan sesuatu, dan hanya aku yang ada di rumah. Pantai Marina adalah kawasan wisata pantai di Teluk Lampung di wilayah Lampung selatan. Pantai ini memiliki pemandangan yang indah dengan batu-batu karang yang bentuknya beraneka ragam. Sudah kubanyangkan aku akan menghabiskan hariku di sana bermain dengan teman-teman kampungku, berlarian di atas lembutnya butiran pasir putih.
Kulihat jam dinding sudah menunjuk angka 8, hari juga sudah mulai panas. Aku gelisah, karena teman-temanku sebentar lagi pasti menghampiriku.sepertinya ayah dari tadi memperhatikan kegelisahanku.
“Kenapa kau dari tadi mondar-mandir? Lirak-lirik jam?”
“Begina Bak, hari ini aku diajak teman-teman berwisata ke pantai.”
“Dengan anak-anak berandalan itu?”
“Mereka tidak berandalan Bak.”
“Mereka teman-teman Manihing, sebenarnya mereka baik Bak.”
“Sudahlah tinggal di rumah, kau tak tahu Abakmu sedang sakit, kau malah pergi.”
Sedih rasanya, bagaimana jika teman-teman nanti datang kesini, aku jawab apa? Apa aku pergi saja dan tak perlu bilang Abak. Kusiapkan semua keperluan Abak untuk sehari ini, lalu aku pergi diam-diam lewat pintu belakang. Kusiapkan makanan di meja makan, sehingga apabila ayah lapar tinggal mengambil saja. Kusiapkan juga air hangat di termos, apabila beliau ingin mandi tak perlu merebus air dulu. Dan kusiapkan beberapa obat serta perban di meja. Diam-diam aku pergi sebelum teman-teman datang ke rumahku.
Kutunggu mereka di ujung jalan. Mengapa mereka belum keihatan ya? Tak lama kemudian kudengar suara teman-temanku, mereka datang berlima.
“Manihing....!”
“Kaliman? Kamu ikut juga?”
“Pasti, karena mendengar kamu juga ikut, maka akupun semangat ikut.”
“Bisa aja kamu.”
Kami berenam pun berjalan menuju jalan raya, menunggu angkutan desa yang lewat, cukup lama kami menunggu maklum di desa sehingga angkutan juga jarang lewat sehingga kami harus sabar menunggu. Kami pun tak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengobrol sambil bercanda. Angkutan yang kami tunggu pun lewat. Kurang lebih dua jam kami di angkot karena jalannya lambat, tak jarang pula di setiap persimapangan ngetem sambil menunggu penumpang. Dari jauh sudah terlihat hamparan air laut yang hijau, tampak rata dan sepertinya tak ada batas antara langit dengan laut. Indahnya, aku sudah tak sabar lagi untuk segera tiba di pantai. Terakhir aku pergi ke pantai ketika aku masih sekolah SMA kelas 1, berarti sudah empat tahun lalu.
“Pantai.....pantai.....”
“Serbu...”
Kamipun berlari menuju pantai. Semilir angin semakin menambah indahnya pantai. Ombak yang berkejar-kejaran tiada henti seolah menggambarkan kehidupan ini yang terus berjalan dan berlari. Betapa indahnya ciptaan-Mu. Sambil bermain air serta pasir yang putih sesekali kami berteriak dan berlari-larian saat ombak datang, dan menyapu rata istana buatanku dari pasir putih. Ketika aku membangun ulang istana pasir itu, tiba-tiba Kaliman datang menghampiriku.
“Bagus sekali istananya.Gambaran masa depan ya?”
“Eh...Kaliman, mengagetkan saja.”
Kami berdua akhirnya duduk menatap laut hijau sambil berbincang. Setelah sekian lama kami ngobrol kesana-kemari, aku merasakan kenyamanan bercerita dengannya. Namun, mengapa hati ini mulai gelisah, perasaanku mulai campur aduk, entah apa yang aku rasakan? Apakah aku mulai jatuh cinta kepadanya? Nggak mungkin, ini hanya perasaannku saja karena aku jarang bercerita dengan orang lain, selain orang tuaku. Apalagi seorang cowok. Aku juga harus sadar dia anak ketua adat yang sekarang sedang menjalankan studi di kota, sementara aku hanya tamatan SMA, pasti Kaliman juga sudah punya pacar di kampus, teman-temannya pasti cantik-cantik. Kaliman juga orang yang pandai dan taat beragama, banyak gadis-gadis lain yang terpesona kepadanya.
Sorot matanya begitu tajam saat memadang mataku, jantungku semakin berdetak saat dia berada di dekatku. Apakah dia menatap ke semua orang dengan tatapan mata yang tajam? Atau hanya kepadaku saja? Ah... aku teralu besar kepala. Jika dia menatapku. Sampai kami meyaksikan matahari yang singgah ke peraduannya. Kami semua pulang untung masih ada angkutan terkahir walaupun sampai di rumah kami sudah malam.
“Dari mana kau Manihing?” Tanya Amak.
“Tadi Manihing bermain ke pantai dengan teman-teman.”
“Mengapa kau sampai malam? Dan kau tak minta ijin Abakmu tadi. Lain kali kau harus ijin kalau mau pergi. Sekarang kau mandi dan makan, sebelum kau diceramahi Abakmu.”
Hari sudah malam, aku merasa lelah seharian bermain di pantai. Aku tidak membantu menenun. Sambil berbaring, terbayang wajah Kaliman waktu bersama-sama tadi, senyumnya yang manis, matanya yang tajam membuatkau terpesona padanya. Ku terlelap sambil membayangkan wajah Kaliman. Tak terasa pagi yang indah telah menyambutku. Rutinitas pagi kulakukan seperti biasa. Ayah sudah sembuh dan beliau sudah pergi ke ladang sejak pagi buta.
Sore ini aku latihan menari di rumah ketua adat, aku baru sadar di sana pasti ada Kaliman, mudah-mudahan dia belum ke kota. Biasanya hari minggu sore dia ke kota karena hari senin ada kuliah dan kembali lagi biasanya hari jumat sore. Aku dan beberapa teman sudah datang ke rumah ketua adat, disana kami berlatih sendiri sambil menunggu sang pelatih datang. Sesekali aku melongok ke pintu, melihat apakah Kaliman masih ada atau sudah pergi. Namun, tak kulihat batang hidungnya sekalipun. Sepertinya kaliman memang sudah berangkat ke kota. Mengapa hati ini terasa kecewa saat aku tak bisa melihatnya.
Kekecewaanku sedikit terobati, ketika sang pelatih tari memperkenalkan tarian baru kepada kami. Betapa indahnya tarian itu. Tarian baru yang diperkenalkan kepada kami adalah tari sembah. Sebelumnya aku pernah melihat tarian ini saat saudara sepupuku menikah. Tarian itu itu memang sangat indah dan menghibur. Tari sembah biasanya diadakan oleh masyarakat Lampung untuk menyambut dan memberikan penghormatan kepada kepada para tamu atau undangan yang datang. Tarian ini sering dinamakan sebagai tarian penyambutan.
Setelah pelatih selesai membawakan satu tarian sebagai contoh. Kami semua mulai baris sesuai posisi dan mulai berlatih menari. Walaupun agak susah, tapi sang pelatih tetap tekun mengajari kami satu persatu. Selain untuk melestarikan budaya di daerah kami, tarian ini juga dapat digunakan sewaktu-waktu apabila ada pernikahan atau saat menyambut para tamu. Seperti pejabat-pejabat.
“Gimana latihan tarinya?” Tanya Abak
“Aku dilatih tari sembah, Bak. Tarian baru, tapi cukup sulit.”
“Asal kau mau berlatih pasti bisa Manihing, dari pada kau keluyuran nggak jelas lebih baik kau ikut berlatih tari seperti itu kan bermanfaat.”
“Iya Bak. Aku mandi dulu Bak.”
Setiap minggu sore kami berlatih tari. Sudah beberapa tarian yang dapat kami tampilkan. Tari sembah pun sudah mahir kami peragakan dan pernah kami pertunjukkan saat ada pernikahan di kampung kami. Sanggar kamipun mulai dikenal di kampung-kampung lain, sehinggga kami sering diundang untuk menari pada acara pernikahan atau penyambutan para pejabat.
Kegiatanku semakin bertambah, selain menenun dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Sekarang aku sering diundang untuk mengisi acara dengan teman lain yang sesanggar. Suatu hari kami diundang di kampus tempat Kaliman kuliah. Ohh....betapa senangnya aku mendengar berita itu. Kami diminta mengisi acara wisuda. Aku berharap di sana bertemu dengan Kaliman. Ketika acara dimulai, munculah seorang pembawa acara dari pintu samping. Betapa terkejutnya aku ketika kulihat wajah pembawa acara itu adalah Kaliman.
Kurasakan jantungku semakin berdetak lebih kencang dari sebelumnya. Apakah dia melihatku? Ya Tuhan...Dia tampak berwibawa sekali dengan mengenakan jas, maklumlah karena ini acara resmi. Setelah mendengar sambutan dari rektor, kami pun dipanggil oleh pembawa acara untuk tampil. Perasaan ini semakin tak menentu, selain baru pertama kali tampil dalam acara resmi seperti ini aku pun semakin salah tingkah ketika Kaliman melihatku menari. Aku hanya bisa berdoa agar tarian yang kami bawakan berjalan lancar. Aku bersyukur do’aku terkabul. Suara riuh dan tepuk tangan dari penonton merupakan kebanggaan tersendiri bagiku. Setelah acara selesai Kaliman mendekati dan menyalamiku.
“Selamat ya, tariannya bagus. Kamu juga cantik sekali hari ini.”
“Terima kasih, itu juga berkat ayah kamu yang berinisiatif mendirikan sanggar di kampung kita.”
“Kamu pulang bareng siapa?”
“Aku pulang dengan rombongan.”
“Sebenarnya aku ingin mengajak kamu pulang bareng. Apa kamu bawa ganti?”
Aku mengangguk.
“Kalau begitu biar aku bilang ke rombongan kalau kamu bareng aku.”
Segera aku berganti pakaian tari dengan kaos santai. Aku diboncengkan Kaliman dengan menggunakan motor vespa. Sepanjang jalan aku hanya diam. Aku tidak tau harus ngomong apa? Yang ada hanyalah perasaanku yang campur aduk tak karuan. Ini kan bukan jalan menuju kampung kami, akan membawaku kemanakah Kaliman? Aku hendak bertanya, tapi...akhirnya kuberanikan diri untuk bertanya.
“Kita mau kemana?”
“Nanti kau lihat sendiri saja.”
Aku pun tak bertanya lagi, asyik juga ya melakukan perjalanan dengan motor. Tak lama kemudian kami pun sampai di pantai yang dulu kami kunjungi bersama. Setelah dia sandarkan motornya, kami duduk di bawah pohon beralaskan tikar kecil yang selalu dia bawa di motor.
“Sudah lama aku ingin mengajakmu kesini. Tapi baru kali ini aku diberi kesempatan untuk berduaan denganmu. Kamu tau apa yang aku rasakan selama ini? Sudah lama aku memendam perasaan ini untukmu, sejak kita masih sama-sama duduk di bangku SMA. Tapi baru aku ungkapan sekarang, entah kamu memiliki perasaan yang sama atau tidak. Aku hanya mengungkapkan apa yang aku rasakan selama ini. Manihing maukah kau menjadi kekasihku?”
“Sebenarnya, sudah lama aku juga memendam perasaan yang sama. Namun, apa daya aku tak banyak berharap. Karena aku takut sakit hati, takut kalau kamu juga tak mau mencintaiku.”
“Jadi kamu menerimaku jadi pacarmu?”
Aku hanya mengangguk, Kaliman memelukku erat. Pasir putih, angin, dan lautlah yang menjadi saksi cinta kita saat itu. Kami pulang bersama, Kaliman mengantarkanku sampai rumah. Betapa indahnya hidup ini. Sungguh aku sangat bahagia. Segala sesuatu yang aku impikan kini telah menjadi kenyataan. Semua terasa indah, sungguh indah.
Kebahagiaan itu tiba-tiba sirna ketika orang tuaku mengetahui bahwa aku berpacaran dengan Kaliman. Orang tuaku melarang kami berpacaran dengan alasan adat yang harus dijunjung tinggi. Aku kecewa, sangat kecewa ketika mendengar itu. Aku dan keluarga tinggal di Lampung Tengah, setiap tempat memiliki adat yang berbeda begitu juga dengan tempat tinggalku. Adat istiadat di Lampung Tengah adalah masyarakat adat pepadun. Upacara adat Lampung Tengah umumnya ditandai dengan adanya bentuk perkawinan “jujur” dengan menurut garis keturunan patrilineal yang ditandai dengan adanya pemberian uang kepada pihak mempelai wanita untuk menyiapkan “sesan” berupa alat-alat rumah tangga. Sesan tersebut akan diserahkan kepada pihak laki-laki pada saat upacara perkawinan berlangsung yang sekaligus sebagai penyerahan mempelai wanita kepada keluarga laki-laki. Dengan demikian secara hukum adat maka putus pula hubungan secara adat antara mempelai wanita dari keluarganya.
“Kenapa Abak melarangku berhubungan dengan Kaliman?”
“Karena kamu tak sederajat dengannya. Dia anak orang terpandang dan berpendidikan tinggi, sementara kamu hanya anak seorang petani dan hanya tamatan SMA.”
“Tapi, Bak. Cinta tidak mengenal derajat dan tingkat pendidikan?”
“Tapi abak tetap tidak merestui, mau ditaruh di mana muka Abak? Bagaimana pendapat orang, pasti semua orang akan meremehkan kita.”
“Aku mohon Bak, aku sangat mencintai Kaliman.”
“Dengan apa kita akan menyiapkan sesan? Menjual ladang? Lalu orang tuamu harus kerja di mana? Nganggur? Mengaharap belas kasihan dari besan?”
Aku menyadari bahwa keluargaku memang hanya pas-pasan secara materi. Pendapatan sehari-hari memang hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Aku juga masih ingat ketika aku masih sekolah. Abak sering meminjam uang kepada tetangga untuk membayar SPP. Kemudian beliau baru membayar ketika panen. Sering itu dilakukan tak hanya untuk membayar SPP untuk kebutuhan yang lain juga. Aku sedih, tapi aku juga tak mau mengorbankan perasaanku.
Aku menemui Kaliman di sanggar karena itu hari sabtu, aku tau Kaliman pasti di rumah. Kudapati dia sedang membaca buku dan kumendekatinya. Kuceritakan semua yang kualami selama seminggu ini. Kaliman hanya terdiam mendengar ceritaku, aku menyerahkan semuanya ke Kaliman, apapun resikonya. Tapi kaliman juga ingin mempertahankan hubungan kita.
“Setelah aku lulus sarjana, aku akan bekerja. Dan hasil pendapatanku kita tabung, setelah terkumpul kita gunakan untuk menyiapkan sesan. Bagaimana pendapatmu?”
“Mungkin itu semua memang mudah kita rencanakan, tapi kita nggak tahu, bagaimana nantinya? Apakah orang tuamu setuju?”
“Aku nggak tau, kamu juga tau orang tuaku juga orang yang keras terhadap pendirian.”
“Benarkan? Mungkin semua yang kita rencanakan kini hanya kenangan saja.”
“Aku pulang saja Kaliman.”
“Kenapa?”
“Aku ingin menenangkan pikiran.”
Terlalu sakit menerima kenyataan ini. Sepertimya aku tak sanggup lagi setiap hari mendengar ceramahan abak dan amak. Aku ingin pergi. Sempat terpikir di benakku, seandainya aku pergi merantau ke luar kota dan aku melupakan Kaliman saja. Dari pada aku menahan rindu terus-menerus seperti ini namun aku selalu dilarang oleh orang tua. Namun, pikiran itu tiba-tiba kuurungkan ketika aku mengingat jasa kedua orang tuaku yang telah membesarkanku hingga aku menjadi seperti ini.
Setahun kemudian, aku menjadi orang yang lebih berguna. Tak lagi memikirkan masalah pribadiku saja. Aku sudah bisa menari dengan baik dan dipercaya untuk melatih tari di daerahku. Beberapa lomba sudah kuikuti, dan tak sedikit juga yang aku menangkan. Melalui budaya daerah inilah kebudayaan Indonesia menjadi semakin kaya. Aku tersenyum bangga.
Ketika sang senja mulai beranjak ke peraduannya, semilir sang bayu mulai membelai tubuhku. Dingin yang kurasakan, namun mataku tidak tetap memandang indahnya sang surya yang hampir tenggelam di pantai berpasir putih. Setelah menghilang, aku mulai beranjak dan pergi meninggalkan pantai. Kurasakan butiran pasir yang lembut di telapak kakiku yang tanpa alas. Kutinggalkan jejak langkah kaki di pasir nan lembut hingga hilang tersapu ombak dan pasirpun rata kembali. Di rumah, kurebahkan badan di ranjang bambu beralaskan tikar yang sudah cukup tua, bahkan sudah mulai lapuk karena umur ranjang tersebut juga sudah sangat tua, melebihi umurku. Kututup mata, tertidur, terlelap, kudengar bunyi ayam berkokok yang membangunkanku dari mimpi yang indah.
Pagi-pagi buta aku bangun, pekerjaanku setiap pagi adalah pergi ke pasar membantu ibuku menjual sayuran di pasar. Sayuran yang kami jual adalah hasil dari kebun kami sendiri. Ayah yang menanam di ladang, apabila dagangan ibu di pasar sudah laku,terlebih maka ia pun segera bergegas menyusul ayah ke ladang. Sedangkan aku melakukan pekerjaan rumah tangga terlebih dahulu. Menyapu, mencuci, dan memasak. Apabila masakan sudah matang, aku langsung mengantarnya ke ladang karena ayah dan ibu tidak pernah makan siang di rumah. Sesekali aku membantu pekerjaan di ladang apabila sedang panen atau ada pekerjaan yang harus cepat diselesaikan. Begitulah kegiatanku sehari-hari. Aku hanyalah seorang gadis yang tinggal di sebuah desa yang ada di Lampung. Kegiatanku sehari-hari hanya menenun di rumah karena itu memang sudah pekerjaan turun-temurun yang sudah diwariskan oleh nenek moyang. Pendidikanku hanya sampai SMA karena selain perguruan tinggi yang cukup jauh, orang tua pun tak sanggup untuk membiayaiku ke perguruan tinggi. Apabila akan melanjutkan studi harus pergi ke kota atau ke luar pulau. Teman-teman sebayaku juga bernasib sama. Oleh karena itu, sampai sekarang aku masih tinggal di desa.
“Manihing...Manihing....Manihing.....” Kudengar suara ibu dari belakang rumah.
“Ada apa Mak, kenapa teriak-teriak?”
“Abakmu Manihing, Abakmu.”
“ Abak kenapa Mak?”
“Abakmu terluka, ambilkan obat merah!”
“Ini Mak.”
Ibu langsung berlari ke ladang, aku segera menyusulnya. Ternyata kaki ayah terkena cangkul, sehingga terluka dan berdarah. Aku membantu membersihkan luka ayah dan kuberi obat merah lalu kubalut dengan kain bersih yang kubawa. Ibu membantu ayah berjalan pulang, sedangkan aku membawa peralatan makan dan alat-alat yang digunakan di ladang. Ayah beristirahat di kamar sampai tertidur pulas. Sementara ibu masih melanjutkan menenun bersamaku. Mataku mulai terkantuk-kantuk, kulirik jam dinding dan jarum pendek sudah menunjuk angka sebelas. Kulihat ibu, dia masih terlihat belum ngantuk. Kuhampiri dan kubawakan secangkir teh panas, kental, manis. Teh kesukaan ibu, berbeda ayah, kalu ayah minum teh pahit tanpa gula.
“Kalau kau ngantuk, tidur saja Manihing! Sudah larut malam, nanti Amak menyusul.”
“Baiklah, Bu.”
Kulangkahkan kaki menuju kamar, berbaring dan terlelap, sampai suara ayam berkokok membangunkanku. Seperti biasa, aku bangun, mandi dan pergi ke pasar. Sepulang dari pasar ibu pergi ke ladang aku memasak dan mengerjakan pekerjaan rumah. Ayah masih sakit sehingga beliau tidak pergi ke ladang. Hari ini aku diajak teman-teman di desaku untuk berwisata ke Pantai Marina. Tapi aku tak berani bilang ke ayah, apalagi beliau masih sakit pasti membutuhkuan sesuatu, dan hanya aku yang ada di rumah. Pantai Marina adalah kawasan wisata pantai di Teluk Lampung di wilayah Lampung selatan. Pantai ini memiliki pemandangan yang indah dengan batu-batu karang yang bentuknya beraneka ragam. Sudah kubanyangkan aku akan menghabiskan hariku di sana bermain dengan teman-teman kampungku, berlarian di atas lembutnya butiran pasir putih.
Kulihat jam dinding sudah menunjuk angka 8, hari juga sudah mulai panas. Aku gelisah, karena teman-temanku sebentar lagi pasti menghampiriku.sepertinya ayah dari tadi memperhatikan kegelisahanku.
“Kenapa kau dari tadi mondar-mandir? Lirak-lirik jam?”
“Begina Bak, hari ini aku diajak teman-teman berwisata ke pantai.”
“Dengan anak-anak berandalan itu?”
“Mereka tidak berandalan Bak.”
“Mereka teman-teman Manihing, sebenarnya mereka baik Bak.”
“Sudahlah tinggal di rumah, kau tak tahu Abakmu sedang sakit, kau malah pergi.”
Sedih rasanya, bagaimana jika teman-teman nanti datang kesini, aku jawab apa? Apa aku pergi saja dan tak perlu bilang Abak. Kusiapkan semua keperluan Abak untuk sehari ini, lalu aku pergi diam-diam lewat pintu belakang. Kusiapkan makanan di meja makan, sehingga apabila ayah lapar tinggal mengambil saja. Kusiapkan juga air hangat di termos, apabila beliau ingin mandi tak perlu merebus air dulu. Dan kusiapkan beberapa obat serta perban di meja. Diam-diam aku pergi sebelum teman-teman datang ke rumahku.
Kutunggu mereka di ujung jalan. Mengapa mereka belum keihatan ya? Tak lama kemudian kudengar suara teman-temanku, mereka datang berlima.
“Manihing....!”
“Kaliman? Kamu ikut juga?”
“Pasti, karena mendengar kamu juga ikut, maka akupun semangat ikut.”
“Bisa aja kamu.”
Kami berenam pun berjalan menuju jalan raya, menunggu angkutan desa yang lewat, cukup lama kami menunggu maklum di desa sehingga angkutan juga jarang lewat sehingga kami harus sabar menunggu. Kami pun tak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengobrol sambil bercanda. Angkutan yang kami tunggu pun lewat. Kurang lebih dua jam kami di angkot karena jalannya lambat, tak jarang pula di setiap persimapangan ngetem sambil menunggu penumpang. Dari jauh sudah terlihat hamparan air laut yang hijau, tampak rata dan sepertinya tak ada batas antara langit dengan laut. Indahnya, aku sudah tak sabar lagi untuk segera tiba di pantai. Terakhir aku pergi ke pantai ketika aku masih sekolah SMA kelas 1, berarti sudah empat tahun lalu.
“Pantai.....pantai.....”
“Serbu...”
Kamipun berlari menuju pantai. Semilir angin semakin menambah indahnya pantai. Ombak yang berkejar-kejaran tiada henti seolah menggambarkan kehidupan ini yang terus berjalan dan berlari. Betapa indahnya ciptaan-Mu. Sambil bermain air serta pasir yang putih sesekali kami berteriak dan berlari-larian saat ombak datang, dan menyapu rata istana buatanku dari pasir putih. Ketika aku membangun ulang istana pasir itu, tiba-tiba Kaliman datang menghampiriku.
“Bagus sekali istananya.Gambaran masa depan ya?”
“Eh...Kaliman, mengagetkan saja.”
Kami berdua akhirnya duduk menatap laut hijau sambil berbincang. Setelah sekian lama kami ngobrol kesana-kemari, aku merasakan kenyamanan bercerita dengannya. Namun, mengapa hati ini mulai gelisah, perasaanku mulai campur aduk, entah apa yang aku rasakan? Apakah aku mulai jatuh cinta kepadanya? Nggak mungkin, ini hanya perasaannku saja karena aku jarang bercerita dengan orang lain, selain orang tuaku. Apalagi seorang cowok. Aku juga harus sadar dia anak ketua adat yang sekarang sedang menjalankan studi di kota, sementara aku hanya tamatan SMA, pasti Kaliman juga sudah punya pacar di kampus, teman-temannya pasti cantik-cantik. Kaliman juga orang yang pandai dan taat beragama, banyak gadis-gadis lain yang terpesona kepadanya.
Sorot matanya begitu tajam saat memadang mataku, jantungku semakin berdetak saat dia berada di dekatku. Apakah dia menatap ke semua orang dengan tatapan mata yang tajam? Atau hanya kepadaku saja? Ah... aku teralu besar kepala. Jika dia menatapku. Sampai kami meyaksikan matahari yang singgah ke peraduannya. Kami semua pulang untung masih ada angkutan terkahir walaupun sampai di rumah kami sudah malam.
“Dari mana kau Manihing?” Tanya Amak.
“Tadi Manihing bermain ke pantai dengan teman-teman.”
“Mengapa kau sampai malam? Dan kau tak minta ijin Abakmu tadi. Lain kali kau harus ijin kalau mau pergi. Sekarang kau mandi dan makan, sebelum kau diceramahi Abakmu.”
Hari sudah malam, aku merasa lelah seharian bermain di pantai. Aku tidak membantu menenun. Sambil berbaring, terbayang wajah Kaliman waktu bersama-sama tadi, senyumnya yang manis, matanya yang tajam membuatkau terpesona padanya. Ku terlelap sambil membayangkan wajah Kaliman. Tak terasa pagi yang indah telah menyambutku. Rutinitas pagi kulakukan seperti biasa. Ayah sudah sembuh dan beliau sudah pergi ke ladang sejak pagi buta.
Sore ini aku latihan menari di rumah ketua adat, aku baru sadar di sana pasti ada Kaliman, mudah-mudahan dia belum ke kota. Biasanya hari minggu sore dia ke kota karena hari senin ada kuliah dan kembali lagi biasanya hari jumat sore. Aku dan beberapa teman sudah datang ke rumah ketua adat, disana kami berlatih sendiri sambil menunggu sang pelatih datang. Sesekali aku melongok ke pintu, melihat apakah Kaliman masih ada atau sudah pergi. Namun, tak kulihat batang hidungnya sekalipun. Sepertinya kaliman memang sudah berangkat ke kota. Mengapa hati ini terasa kecewa saat aku tak bisa melihatnya.
Kekecewaanku sedikit terobati, ketika sang pelatih tari memperkenalkan tarian baru kepada kami. Betapa indahnya tarian itu. Tarian baru yang diperkenalkan kepada kami adalah tari sembah. Sebelumnya aku pernah melihat tarian ini saat saudara sepupuku menikah. Tarian itu itu memang sangat indah dan menghibur. Tari sembah biasanya diadakan oleh masyarakat Lampung untuk menyambut dan memberikan penghormatan kepada kepada para tamu atau undangan yang datang. Tarian ini sering dinamakan sebagai tarian penyambutan.
Setelah pelatih selesai membawakan satu tarian sebagai contoh. Kami semua mulai baris sesuai posisi dan mulai berlatih menari. Walaupun agak susah, tapi sang pelatih tetap tekun mengajari kami satu persatu. Selain untuk melestarikan budaya di daerah kami, tarian ini juga dapat digunakan sewaktu-waktu apabila ada pernikahan atau saat menyambut para tamu. Seperti pejabat-pejabat.
“Gimana latihan tarinya?” Tanya Abak
“Aku dilatih tari sembah, Bak. Tarian baru, tapi cukup sulit.”
“Asal kau mau berlatih pasti bisa Manihing, dari pada kau keluyuran nggak jelas lebih baik kau ikut berlatih tari seperti itu kan bermanfaat.”
“Iya Bak. Aku mandi dulu Bak.”
Setiap minggu sore kami berlatih tari. Sudah beberapa tarian yang dapat kami tampilkan. Tari sembah pun sudah mahir kami peragakan dan pernah kami pertunjukkan saat ada pernikahan di kampung kami. Sanggar kamipun mulai dikenal di kampung-kampung lain, sehinggga kami sering diundang untuk menari pada acara pernikahan atau penyambutan para pejabat.
Kegiatanku semakin bertambah, selain menenun dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Sekarang aku sering diundang untuk mengisi acara dengan teman lain yang sesanggar. Suatu hari kami diundang di kampus tempat Kaliman kuliah. Ohh....betapa senangnya aku mendengar berita itu. Kami diminta mengisi acara wisuda. Aku berharap di sana bertemu dengan Kaliman. Ketika acara dimulai, munculah seorang pembawa acara dari pintu samping. Betapa terkejutnya aku ketika kulihat wajah pembawa acara itu adalah Kaliman.
Kurasakan jantungku semakin berdetak lebih kencang dari sebelumnya. Apakah dia melihatku? Ya Tuhan...Dia tampak berwibawa sekali dengan mengenakan jas, maklumlah karena ini acara resmi. Setelah mendengar sambutan dari rektor, kami pun dipanggil oleh pembawa acara untuk tampil. Perasaan ini semakin tak menentu, selain baru pertama kali tampil dalam acara resmi seperti ini aku pun semakin salah tingkah ketika Kaliman melihatku menari. Aku hanya bisa berdoa agar tarian yang kami bawakan berjalan lancar. Aku bersyukur do’aku terkabul. Suara riuh dan tepuk tangan dari penonton merupakan kebanggaan tersendiri bagiku. Setelah acara selesai Kaliman mendekati dan menyalamiku.
“Selamat ya, tariannya bagus. Kamu juga cantik sekali hari ini.”
“Terima kasih, itu juga berkat ayah kamu yang berinisiatif mendirikan sanggar di kampung kita.”
“Kamu pulang bareng siapa?”
“Aku pulang dengan rombongan.”
“Sebenarnya aku ingin mengajak kamu pulang bareng. Apa kamu bawa ganti?”
Aku mengangguk.
“Kalau begitu biar aku bilang ke rombongan kalau kamu bareng aku.”
Segera aku berganti pakaian tari dengan kaos santai. Aku diboncengkan Kaliman dengan menggunakan motor vespa. Sepanjang jalan aku hanya diam. Aku tidak tau harus ngomong apa? Yang ada hanyalah perasaanku yang campur aduk tak karuan. Ini kan bukan jalan menuju kampung kami, akan membawaku kemanakah Kaliman? Aku hendak bertanya, tapi...akhirnya kuberanikan diri untuk bertanya.
“Kita mau kemana?”
“Nanti kau lihat sendiri saja.”
Aku pun tak bertanya lagi, asyik juga ya melakukan perjalanan dengan motor. Tak lama kemudian kami pun sampai di pantai yang dulu kami kunjungi bersama. Setelah dia sandarkan motornya, kami duduk di bawah pohon beralaskan tikar kecil yang selalu dia bawa di motor.
“Sudah lama aku ingin mengajakmu kesini. Tapi baru kali ini aku diberi kesempatan untuk berduaan denganmu. Kamu tau apa yang aku rasakan selama ini? Sudah lama aku memendam perasaan ini untukmu, sejak kita masih sama-sama duduk di bangku SMA. Tapi baru aku ungkapan sekarang, entah kamu memiliki perasaan yang sama atau tidak. Aku hanya mengungkapkan apa yang aku rasakan selama ini. Manihing maukah kau menjadi kekasihku?”
“Sebenarnya, sudah lama aku juga memendam perasaan yang sama. Namun, apa daya aku tak banyak berharap. Karena aku takut sakit hati, takut kalau kamu juga tak mau mencintaiku.”
“Jadi kamu menerimaku jadi pacarmu?”
Aku hanya mengangguk, Kaliman memelukku erat. Pasir putih, angin, dan lautlah yang menjadi saksi cinta kita saat itu. Kami pulang bersama, Kaliman mengantarkanku sampai rumah. Betapa indahnya hidup ini. Sungguh aku sangat bahagia. Segala sesuatu yang aku impikan kini telah menjadi kenyataan. Semua terasa indah, sungguh indah.
Kebahagiaan itu tiba-tiba sirna ketika orang tuaku mengetahui bahwa aku berpacaran dengan Kaliman. Orang tuaku melarang kami berpacaran dengan alasan adat yang harus dijunjung tinggi. Aku kecewa, sangat kecewa ketika mendengar itu. Aku dan keluarga tinggal di Lampung Tengah, setiap tempat memiliki adat yang berbeda begitu juga dengan tempat tinggalku. Adat istiadat di Lampung Tengah adalah masyarakat adat pepadun. Upacara adat Lampung Tengah umumnya ditandai dengan adanya bentuk perkawinan “jujur” dengan menurut garis keturunan patrilineal yang ditandai dengan adanya pemberian uang kepada pihak mempelai wanita untuk menyiapkan “sesan” berupa alat-alat rumah tangga. Sesan tersebut akan diserahkan kepada pihak laki-laki pada saat upacara perkawinan berlangsung yang sekaligus sebagai penyerahan mempelai wanita kepada keluarga laki-laki. Dengan demikian secara hukum adat maka putus pula hubungan secara adat antara mempelai wanita dari keluarganya.
“Kenapa Abak melarangku berhubungan dengan Kaliman?”
“Karena kamu tak sederajat dengannya. Dia anak orang terpandang dan berpendidikan tinggi, sementara kamu hanya anak seorang petani dan hanya tamatan SMA.”
“Tapi, Bak. Cinta tidak mengenal derajat dan tingkat pendidikan?”
“Tapi abak tetap tidak merestui, mau ditaruh di mana muka Abak? Bagaimana pendapat orang, pasti semua orang akan meremehkan kita.”
“Aku mohon Bak, aku sangat mencintai Kaliman.”
“Dengan apa kita akan menyiapkan sesan? Menjual ladang? Lalu orang tuamu harus kerja di mana? Nganggur? Mengaharap belas kasihan dari besan?”
Aku menyadari bahwa keluargaku memang hanya pas-pasan secara materi. Pendapatan sehari-hari memang hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Aku juga masih ingat ketika aku masih sekolah. Abak sering meminjam uang kepada tetangga untuk membayar SPP. Kemudian beliau baru membayar ketika panen. Sering itu dilakukan tak hanya untuk membayar SPP untuk kebutuhan yang lain juga. Aku sedih, tapi aku juga tak mau mengorbankan perasaanku.
Aku menemui Kaliman di sanggar karena itu hari sabtu, aku tau Kaliman pasti di rumah. Kudapati dia sedang membaca buku dan kumendekatinya. Kuceritakan semua yang kualami selama seminggu ini. Kaliman hanya terdiam mendengar ceritaku, aku menyerahkan semuanya ke Kaliman, apapun resikonya. Tapi kaliman juga ingin mempertahankan hubungan kita.
“Setelah aku lulus sarjana, aku akan bekerja. Dan hasil pendapatanku kita tabung, setelah terkumpul kita gunakan untuk menyiapkan sesan. Bagaimana pendapatmu?”
“Mungkin itu semua memang mudah kita rencanakan, tapi kita nggak tahu, bagaimana nantinya? Apakah orang tuamu setuju?”
“Aku nggak tau, kamu juga tau orang tuaku juga orang yang keras terhadap pendirian.”
“Benarkan? Mungkin semua yang kita rencanakan kini hanya kenangan saja.”
“Aku pulang saja Kaliman.”
“Kenapa?”
“Aku ingin menenangkan pikiran.”
Terlalu sakit menerima kenyataan ini. Sepertimya aku tak sanggup lagi setiap hari mendengar ceramahan abak dan amak. Aku ingin pergi. Sempat terpikir di benakku, seandainya aku pergi merantau ke luar kota dan aku melupakan Kaliman saja. Dari pada aku menahan rindu terus-menerus seperti ini namun aku selalu dilarang oleh orang tua. Namun, pikiran itu tiba-tiba kuurungkan ketika aku mengingat jasa kedua orang tuaku yang telah membesarkanku hingga aku menjadi seperti ini.
Setahun kemudian, aku menjadi orang yang lebih berguna. Tak lagi memikirkan masalah pribadiku saja. Aku sudah bisa menari dengan baik dan dipercaya untuk melatih tari di daerahku. Beberapa lomba sudah kuikuti, dan tak sedikit juga yang aku menangkan. Melalui budaya daerah inilah kebudayaan Indonesia menjadi semakin kaya. Aku tersenyum bangga.
Oleh: Bekti Yustiarti
Nilai-nilai yang terkandung dalam cerpen tersebut adalah
sebagai berikut:
1.
Nilai Agama:
·
Manihing sangat
berbakti terhadap orang tuanya, sehingga ia sukses menjadi guru tari di
daerahnya.
·
Dalam ajaran, Islam
melarang seseorang untuk berpacaran.
2.
Nilai Sosial:
·
Bahwa di daerah
lampung tengah masih memandang status sosial seseorang.
3.
Nilai Adat:
·
Melestarikan budaya
sendiri merupakan kewajiban setiap orang yang tinggal dan menetap di negara
tersebut. Terutama saat ini arus globalisasi mempengaruhi anak-anak jaman
sekarang untuk tidak lagi memperdulikan budaya daerah mereka masing-masing.
Untuk itu tokoh Manihing di cerita ini sangat bagus sekali memberikan contoh
kepada kaula muda yang masih kurang peduli terhadap kebudayaan daerahnya agar
merubah pola pikir mereka tentang budaya daerah tesebut tidaklah “kampungan”
yang selama ini mereka tanamkan dalam pikiran. Justru sebagai generasi penerus
bangsa kita harus bangga dengan keanekaragaman budaya di negara kita tercinta
dan melestarikan budaya-budaya tersebut agar tidak di klaim oleh negara lain
dan bahkan di akui oleh semua negara bahwa negara Indonesia merupakan negara
yang berbudaya.
2.
BATU GOLOG
(Nusa Tenggara Barat)
Pada jaman dahulu di daerah Padamara dekat Sungai Sawing
hiduplah sebuah keluarga miskin. Sang istri bernama Inaq Lembain dan sang suami
bernama Amaq Lembain.
Mata pencaharian mereka adalah buruh tani. Setiap hari
mereka berjalan kedesa- desa menawarkan tenaganya untuk menumbuk padi.
Kalau Inaq Lembain menumbuk padi maka kedua anaknya
menyertai pula. Pada suatu hari, ia sedang asyik menumbuk padi. Kedua anaknya
ditaruhnya diatas sebuah batu ceper didekat tempat ia bekerja.
Anehnya, ketika Inaq mulai menumbuk, batu tempat mereka
duduk makin lama makin menaik. Merasa seperti diangkat, maka anaknya yang
sulung mulai memanggil ibunya: “Ibu batu ini makin tinggi.” Namun sayangnya
Inaq Lembain sedang sibuk bekerja. Dijawabnya, “Anakku tunggulah sebentar, Ibu
baru saja menumbuk.”
Begitulah yang terjadi secara berulang-ulang. Batu ceper
itu makin lama makin meninggi hingga melebihi pohon kelapa. Kedua anak itu
kemudian berteriak sejadi-jadinya. Namun, Inaq Lembain tetap sibuk menumbuk dan
menampi beras. Suara anak-anak itu makin lama makin sayup. Akhirnya suara itu
sudah tidak terdengar lagi.
Batu Goloq itu mak;in lama makin tinggi. Hingga membawa
kedua anak itu mencapai awan. Mereka menangis sejadi-jadinya. Baru saat itu
Inaq Lembain tersadar, bahwa kedua anaknya sudah tidak ada. Mereka dibawa naik
oleh Batu Goloq.
Inaq Lembain menangis tersedu-sedu. Ia kemudian berdo’a
agar dapat mengambil anaknya. Syahdan doa itu terjawab. Ia diberi kekuatan
gaib. dengan sabuknya ia akan dapat memenggal Batu Goloq itu. Ajaib, dengan
menebaskan sabuknya batu itu terpenggal menjadi tiga bagian. Bagian pertama jatuh
di suatu tempat yang kemudian diberi nama Desa Gembong oleh karena itu
menyebabkan tanah di sana bergetar. Bagian ke dua jatuh di tempat yang diberi
nama Dasan Batu oleh karena ada orang yang menyaksikan jatuhnya penggalan batu
ini. Dan potongan terakhir jatuh di suatu tempat yang menimbulkan suara
gemuruh. Sehingga tempat itu diberi nama Montong Teker.
Sedangkan kedua anak itu tidak jatuh ke bumi. Mereka telah
berubah menjadi dua ekor burung. Anak sulung berubah menjadi burung Kekuwo dan
adiknya berubah menjadi burung Kelik. Oleh karena keduanya berasal dari manusia
maka kedua burung itu tidak mampu mengerami telurnya.
(Cerita ini
diadaptasi secara bebas dari I Nengah Kayun dan kawan-kawan, “Batu Goloq,”
Cerita Rakyat Nusa Tenggara Barat, Jakarta: Departemen P dan K, 1981, hal.
21-25).
Nilai-nilai yang terkandung dalam cerita tersebut adalah
sebagai berikut:
1.
Nilai Sosial:
Bahwa sebagai orang tua kita perlu selalu menjaga anak
kita, walaupun sedang sibuk bekerja tengoklah sesekali ke mereka. Karena
sesungguhnya anak-anak kita perlu mendapat kasih sayang yang seutuhnya dari
kita sebagi orang tuanya.
2.
Nilai Agama:
Bahwa do’a seorang ibu atau pun ayah yang amat menyangi
anak-anaknya akan terkabulkan oleh Sang Maha Pencipta.
Contoh Puisi:
a.
BUDAYA
INDONESIA YANG HILANG
Indonesia
kaya akan budaya
Beragam banyak pulau,beragam pula kebudayaannya
Namun kebudayaan itu telah hilang
Banyak kebudayaan luar yang silir berganti
Dimanakah jati diri Indonesia?
Akankah jati diri itu kembali lagi?
Tapi sayangnya semua itu hanya mimpi
Banggkit, bangkit lah Indonesia
Bertahun-tahun pejuang membela tanah air Indonesia
Untuk mendapatkan kemerdekaan Indonesia
Dia berbaring, tetapi bukan tidur
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang
Kedua lengannya memelik senapan
Menangkap sepi padang senja
Wahai pemuda-pemudi Indonesia
Hargailah kebudayaan Indonesia
Janganlah kalian malu mengakui
Bahwa itu kebudayaan Indonesia
Karena kebudayaan itu aset negara
Nilai-nilai yang terkandung dalam puisi tersebut adalah
sebagai berikut:
1.
Nilai Budaya:
Bahwa kita sebagai warga negara Indonesia tidak boleh
melupakan jati diri kita sebagai bangsa yang kaya akan kebudayaan disetiap
daerahnya. Dan kita sebagai rakyat Indonesia harus bangga akan hal itu dan
melestarikan semua budaya yang kita miliki. Jangan mau kalah dengan
budaya-budaya modern dari negara lain. Kita harus membawa budaya Indonesia
sampai ke mata internasional sehingga budaya kita di akui dan tidak bisa di
klaim oleh negara lain.
b.
REFORMASI BUDAYA
Bangsa kita
kaya akan budaya
Budaya di bangsa kita kaya
Berbudayakah bangsa kita?
Budaya siapakah dia?
Reformasi…
.
Kebebasan berekspresi
Kebabasan membuka diri
Kebebasan tuk memberi
Reformasi…
.
Haruskah budaya juga?
Kebebasan yang ada semakin tak terjaga
Bebas tapi terpenjara
Ada budaya
di bangsa kita
Yang harus di ubahkan
Ada budaya di bangsa kita
Yang harus di lestarikan
Budaya
harus kita jaga agar tak ternodai
Jangan budayakan korupsi
Budayakan puisi
Budayakanlah seni
Budaya yang
ada sedikit yang murni
Budaya yang murni sedikit ada
Hati nurani kadang berkata
Inikah budaya bangsa
Bangsa yang
kaya akan budaya
Bangsa yang selalu berjaya
Bangsa kita harus berjaya
Bangsa kita harus berbudaya
Mari
generasi muda bangsa
Kita jaga dan hormati budaya bangsa
Bukan budaya para penguasa
Budaya yang harus dijaga adalah budaya bangsa
Budaya
berasal dari Budi dan Daya
Akal sehat tuk berkarya
Membangun nusa dan bangsa
Membawa Kehormatan bangsa
Oleh: ahmadrizal96
Nilai-nilai yang terkandung dalam puisi
tersebut adalah bahwa:
1.
Nilai Budaya:
Bahwa kita sebagai generasi penerus bangsa harus mau
mengakui dan melestarikan kebudayaan kita dimata dunia. Jangan pernah malu
dengan budaya negara kita. Karena, tidak semua negara memiliki banyak
kebudayaan disetiap daerahnya untuk itu sekali lagi saya menghimbau kepada para
pemuda-pemudi untuk selalu mendukung budaya negara kita baik dalam maupun luar
negeri.
Nama: Linda Lindiawati
NPM: 14512218
Kelas: 1PA01
Tidak ada komentar:
Posting Komentar